Refleksi Soal PISA Indonesia dan Peran Guru dari Sebuah Rekaman Suara

Pendidikan

Sumber gambar: rencanamu.id

Penulis:Bearita.com

Hari ini ada yang mengirimi saya rekaman percakapan bahasa inggris dan dia (pengirim) meminta saya untuk membantu menjawab tugasnya tersebut. Tugas tersebut berbentuk rekaman (voice recorder)—maklum dalam masa pandemi seperti ini proses belajar mengajar dilaksanakan di rumah masing-masing dengan media yang tersedia khususnya dengan rekaman suara. Rekaman ini berkisah tentang seorang anak yang sedang berkonsultasi dengan gurunya mengenai tugas mengarang yg dia dapatkan. 

Setidaknya ada 2 hal menarik yang dapat diambil. Pertama, anak yang masih sangat belia, kira-kira bersekolah di sekolah dasar, sudah diajari menulis dan mengarang. Masih segar dalam ingatan kita bahwa nilai PISA Indonesia amat rendah. Kita seolah-olah mendapatkan shock therapy dan harus merefleksikan kembali apakah sistem pendidikan kita, khususnya di sekolah, sudah berada di jalan yang seharusnya atau belum. PISA (Programme of International  Student Assessment) merupakan suatu penilaian mengenai kemampuan dasar anak yang meliputi literasi membaca, matematika dan sains. PISA dilaksanakan di banyak sekolah di berbagai negara di dunia serta dilaksanakan secara profesional setiap 3 tahun sekali. Inilah mungkin yang menjadi penyebab PISA banyak dijadikan batu acuan sistem pendidikan di dunia.

Kalau kita melihat generasi muda kita dengan kaca mata PISA, maka jauh panggang dari api. Rekaman tersebut mengajarkan saya bahwa pembiasaan, khususnya masalah literasi, harus ditanamkan sedari kecil. Kita tidak akan mendapatkan hasil dari pendidikan dalam waktu singkat. Pendidikan adalah investasi masa depan, seperti itulah kiranya dapat dikatakan. Dalam bidang-bidang lain, kita akan nampak jelas melihat kemajuan-kemajuan seperti jalan makin bagus, fasilitas publik tersedia dengan baik, gedung-gedung bertingkat dan lain-lain. Tetapi, kemajuan dalam bidang pendidikan tidak sesimpel itu ditafsirkan. Lalu muncul muncul pertanyaan "Apakah PISA memang harus menjadi standar sebuah sistem pendidikan?", jawabannya bisa iya, bisa pula tidak. PISA bukan segala-galanya, akan tetapi karena PISA ini menilai kemampuan-kemampuan dasar anak, maka tidak salahnya dijadikan bahan pertimbangan bagi kebijakan pendidikan negara kita. 

Kedua, dalam rekaman ini jelas sekali sang murid sangat terbuka dan percaya diri untuk berkonsultasi dengan gurunya. Kalau kita menilik kembali definisi pendidikan bahwa sejatinya pendidikan itu bagaimana membelajarkan siswa, bukan hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan. Keberanian siswa ini menandakan bahwa sang guru telah berhasil membangun budaya akademik yang nyaman, terbuka, dan bersahabat. [Sementara itu,] guru-guru kita terkadang membangun image dan pendekatan yang salah kepada murid-murid. Pendekatan yang salah akan menyebabkan murid-murid menjadi canggung, walaupun hanya sekedar untuk menanyakan masalah pelajarannya. Seorang guru memang berperan sebagai suri tauladan bagi murid, seperti dikatakan dalam sebuah pepatah, "Guru kencing berdiri murid kencing berlari," tetapi jangan jadikan hal tersebut sebagai justifikasi kedigdayaan guru atas murid. Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, dengan sangat indahnya menganalogikan guru itu bak seorang petani yang merawat tanamannya. Dengan telaten dia menyirami, memberi pupuk, dan merawat tanaman sampai ia tumbuh besar dan berbunga. Seperti itulah idealnya seorang guru, dia harus sabar, harus ikhlas, menjalin komunikasi yang baik, serta terbuka dengan segala masukan. Iklim akademik seperti inilah yang akan membuat siswa menjadi nyaman dan membuat proses belajar menjadi bermakna. Ketika siswa sudah tergugah inisiatifnya untuk belajar secara mandiri, makainilah alamat pendidikan akan mencapai titik terangnya. 

Akhir kata, tidak dapat dipungkiri dunia pendidikan kita masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tantangan zaman yang semakin hari semakin sulit harus menjadi prioritas kita bersama. Setiap stakeholder mulai dari tingkat pusat sampai tingkat sekolah harus bersama-sama bergandengan tangan dan berkeja sama dalam hal ini. Memang kita tidak akan merasakan dampak yang signifikan sekarang, akan tetapi kerja keras kita akan sangat berarti bagi generasi bangsa yang akan datang. Anggap saja ini merupakan amal jariyah kita bagi mereka semua.

 

Penulis: Agustian Ramadana Putera, Mahasiswa S2 Universitas Negeri Yogyakarta

Editor: Arbani

Terkait
Sumber Referensi Cerdas | Beragam Informasi Unik dan Berani
Copyright ©2024 bearita.com All Rights Reserved