Mengenal Para Asisten Jenderal Ahmad Yani

Sejarah

Jenderal Ahmad Yani dan para asistennya. Kiri: S. Parman, D.I. Pandjaitan, dan Soetoyo Siswomihardjo. Kanan: Djamin Gintings, Ashari, dan Pranoto.

Penulis:Bearita.com

Sepekan setelah memegang tampuk kepemimpinan Angkatan Darat, Letjen Ahmad Yani meresmikan susunan stafnya.

Tiga perwira tinggi diangkat sebagai deputi. Mereka antara lain:

  1. Deputi I/Operasi Mayjen Moersjid,
  2. Deputi II/Admistrasi Mayjen Soeprato, dan
  3. Deputi III/Pembinaan Mayjen Harjono Mas Tirtodarmo.

Ketiganya merupakan wakil Yani yang membawahkan beberapa bidang.

Untuk membantu kinerjanya, Yani dibantu oleh sejumlah asisten.

  1. Asisten I/Intelijen Mayjen Siswondo Parman,
  2. Asisten II/Mayjen Djamin Gintings,
  3. Asisten III/Personel Mayjen Pranoto Reksosamudro,
  4. Asisten IV/Brigjen Donald Isaac Pandjaitan.

Selain itu, Yani menambah tiga asisten lagi yang di masa Nasution belum ada.

  1. Asisten V/Teritorial Brigjen Soeprapto Sokowati,
  2. Asisten VI/Kekaryaan Brigjen dr. Soedjono
  3. Asisten VII/Keuangan Brigjen Ashari yang kemudian digantikan oleh Alamsyah Ratu Prawiranegara.

Seorang Oditur Militer dijabat oleh Brigjen Soetoyo Siswomihardjo. Nama-nama para perwira itu dipublikasi pada 30 Juni 1962, seminggu setelah serah terima komando Angkatan Darat dari Jenderal Abdul Haris Nasution kepada Ahmad Yani.

“Menurut saya yang paling cerdas Asisten I Mayjen S. Parman,” kata sesepuh TNI Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo.

Perwira Lingkaran Dalam

Pada 1963, Letkol Sayidiman bertugas sebagai perwira menengah pembantu (Paban) Organisasi di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) 2. Lembaga itu berada di bawah Asisten II Mayjen Djamin Gintings.

Dalam tugasnya merumuskan konsep organisasi Angkatan Darat, Sayidiman kerap kali berurusan dengan semua asisten dan deputi. Tandatangan dan persetujuan mereka mesti diperoleh terlebih dahulu agar konsep dapat diajukan kepada Yani.

Menurut Sayidiman, Parman adalah asisten yang paling menonjol. Meski terlahir sebagai wong Wonosobo tetapi Parman banyak mengecap pendidikan Barat. Jadi sekalipun gaya bicaranya Jawa sekali alias medok, cara berpikirnya lebih mengarah kepada Barat, yaitu rasional dan logis.

Kecerdasan Parman, kata Sayidiman, kerap terlihat dalam rapat staf umum. Sayidiman senang sekali apabila Gintings menugaskannya dalam rapat staf umum mewakili Asisten II. Pada kesempatan itulah Sayidiman dapat menyaksikan dari dekat para asisten Yani bekerja.

“Karakter masing-masing tentu tidak sama tapi dalam kebersamaan bermutu,” ujar Sayidiman.

Selain Parman, Pandjaitan merupakan sosok asisten Yani yang juga menonjol. Membidangi urusan logistik, Pandjaitan dikenal cakap lagi teliti. Menurut Sayidiman, Pandjaitan memang pintar dan penuh energi.

Sebagai orang Batak, Pandjaitan tajam dalam mengkritisi sesuatu bahkan keras. Kendati demikian, dia mudah menerima argumen yang rasional dan logis. Oleh karena itu, Pandjaitan selalu menghargai hasil pekerjaan yang baik.

Dalam otobiografinya Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI, Sayidiman juga membagikan kesannya terhadap asisten yang lain. “Bos” nya Djamin Gintings disebutnya suka berterus terang dan sosok yang dekat dengan anak buah.

Pranoto tipikal Jawa yang halus dan tidak suka menonjolkan diri. Sokowati yang orang Madiun tidak sehalus orang Solo tapi tidak pula sekasar orang Surabaya dan agak sulit ditemui.

Dengan Soedjono tiada kesulitan yang berarti namun dia suka memberikan uraian khusus tentang ideologi. Sementara itu, Ashari merupakan sosok paling alot dan sukar menerima pendapat yang bertentangan dengan pikirannya.

Siapa Pilihan Yani?

Dalam menentukan siapa saja perwira yang duduk di SUAD, Yani punya kriteria sendiri.

Yani seperti dituturkan anaknya Amelia Yani dalam Profil Seorang Prajurit TNI, memilih orang-orang yang dia anggap cakap menurut penilaiannya. Selain itu, perwira tersebut tentunya dapat dipercaya dan sudah dikenal dengan cukup baik.

Sementara itu, menurut Donatus Donny A. Sheyoputra, pengamat sejarah militer dari Universitas Pertahanan, Yani cenderung memilih perwira yang punya pengalaman pendidikan di luar negeri atau setidaknya pernah jadi atase militer. Dengan kata lain, Yani lebih suka perwira yang cara berpikirnya rasional ala Barat.

“Mereka yang pernah menjadi atase militer ialah Pandjaitan di Jerman, Parman di London, kemudian Harjono di Belanda. Ashari juga pernah jadi atase militer di Amerika Serikat. Sementara yang pernah mendapatkan pendidikan luar negeri ialah Pandjaitan dan Alamsyah Ratu Prawiranegara,” ujar Donny.

Parman tergolong perwira yang paling senior. Pada 1951, sebagaimana dicatat Harsja Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tingggi TNI-AD, Parman sempat mengikuti pendidikan Associate Military Company Officer School di Georgia, Amerika Serikat (AS).

Kemudian pada 1959, Parman bertugas di London sebagai atase militer Indonesia untuk Kerajaan Inggris. Sebelum Parman menempati posnya di London, Soetoyo telah lebih dahulu berada di sana sebagai asisten atase militer periode 1956-1959. Sepulangnya ke Indonesia, Soetoyo menjabat sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal TNI-AD

Yani sendiri juga mengecap pendidikan Command and General Staff College (setara Seskoad) di Forth Leavenworth, Kansas, AS pada 1958.

Sementara itu, Pandjaitan menjabat sebagai atase militer Indonesia untuk Jerman Barat pada 1956. Setelah diangkat menjadi Asisten IV, Pandjaitan mengikuti pendidikan staf dan komando di tempat yang sama dengan Yani pada 1963.

Perwira yang turut menimba ilmu bersama Pandjaitan ialah Alamsyah Ratu Prawiranegara yang kemudian menjadi Asisten VII. Jadi, Yani, Pandjaitan, dan Alamsyah sama-sama sealumni jebolan Forth Leavenworth.

Kendati demikian, tidak semua perwira SUAD merupakan pilihan Yani. Beberapa perwira yang kurang sesuai dengan kriteria Yani tetap dipertahankan sebagai wujud kompromi.

Menurut Amelia Yani, Gintings dan Sokowati merupakan figur yang lebih dekat dengan Nasution. Mereka diharapkan dapat menjembatani hubungan antara Yani dan Jenderal Nasution yang saat itu mulai merenggang.

Sementara itu, pengangkatan Pranoto dalam SUAD terbilang kontroversial. Menurut Saleh As'ad Djamhari dan tim editor buku Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional bagian 3: Berakhir dan Bermula yang menunjuk Pranoto sebagai Asisten III bukanlah Yani, melainkan Istana. Presiden Sukarno disebut-sebut yang menyodorkan nama Pranoto. Yani yang taat kepada Panglima Tertinggi akhirnya menerima usulan itu.

“Pranoto adalah pribadi yang di mata Sukarno termasuk disayang. Selain kalem dan tidak ambisius, kecocokan Pranoto dengan Bung Karno adalah sama-sama pecinta wayang,” ujar Donny.

Demikianlah Yani dan para asistennya yang punya karateristik beragam. Mereka sebagai perwira SUAD menjalankan tugas dalam bidang masing-masing. Selain solid, Sayidiman mengenang, tingkat intelektual SUAD pada era kepemimpinan Yani tidak dapat ditandingi.

Perwira seperti Parman dan Pandjaitan disebutnya punya pandangan intelektual yang luas dan tajam. Apalagi di masa Yani, Angkatan Darat menghadapi masa-masa genting, misalnya program konfrontasi ganyang Malaysia dan persaingan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Komposisi SUAD itu terus berjalan hingga pecahnya Gerakan 30 September 1965.

sumber: quora

Terkait
Sumber Referensi Cerdas | Beragam Informasi Unik dan Berani
Copyright ©2024 bearita.com All Rights Reserved