Korea Utara Terapkan Taktik Deterrence Untuk Menggertak Lawan

Global

Parade Militer Korea Utara

Penulis:Bearita.com

Agar tidak bernasib seperti Ukraina pada 2022 yang diserbu Rusia, atau Irak pada 2003 yang diinvasi Amerika. Itu sebabnya mereka "buang-buang rudal" ke laut sebagai taktik deterrence atau pencegahan perang.

Teori taktik ini dikembangkan oleh Henry Kissinger, salah satu diplomat paling top di Amerika Serikat.

Jadi begini, untuk mencegah peperangan (termasuk diinvasi) ada metode yang disebut kekuatan deterrence. Mengapa setelah Perang Dunia II tidak ada perang besar dengan super power berhadapan? Karena baik Amerika maupun Uni Soviet saling tahan diri. Dan deterrence-nya? Kekuatan nuklir. Semua saling takut lawan akan Serang dengan nuklir.

Begini roket berhulu ledak nuklir milik Uni Soviet.

Rule of engagement-nya begini: kalau ada konflik dan salah satu pihak sudah masuk, yang satunya tidak masuk. Paling membantu secara diam-diam.

Di Vietnam, Amerika masuk-Uni Soviet diam. Di Afganistan 1979, Uni Soviet masuk, Amerika diam. Seperti sekarang di Ukraina, Rusia (penerus Uni Soviet) masuk, Amerika diam. Kalau dua-duanya masuk, keduanya takut konflik meluas dan terjadi perang nuklir.

Agar berfungsi, kata Henry Kissinger, deterrence itu ada tiga faktor. Kira-kira begini, pertama dia punya kekuatan, kedua punya niat menggunakan (ancaman), dan ketiga negara yang menjadi ancaman mengetahuinya. Satu dari tiga faktor tidak ada, maka kekuatan deterrence tak berfungsi.

Ini yang dilakukan Korea Utara sekarang.

Pertama, mereka punya kekuatan. Mereka punya bom nuklir. Mereka juga punya metode untuk mengirim bom nuklir yaitu roket.

Kedua, mereka memiliki niat. Mereka berulang-ulang menyatakan akan bisa menyerang wilayah Amerika atau Korea Selatan atau Jepang.

Ketiga, untuk menunjukkan dunia mereka benar-benar punya bom nuklir, mereka melakukan uji coba ledakan. Untuk menunjukkan mereka bisa benar-benar menyerang, mereka "membuang rudal ke laut" itu.

Sejauh ini, taktik deterrence Korea Utara efektif.

Di Irak pada 2003, ceritanya beda. Saat itu Amerika masih panas karena satu setengah tahun sebelumnya ada serangan 11 September. Mereka menjadi mengamuk ke mana-mana. Kalau Afganistan, okelah, bagaimanapun Usamah bin Ladin, yang dituduh menjadi otak serangan, sembunyi di sana, jadi diserang.

Tapi mereka kemudian juga mengancam negara yang disebut "Poros Setan" yaitu Iran, Irak, dan Korea Utara. Isu yang dibawa Amerika adalah kepemilikan senjata pemusnah massal, termasuk senjata nuklir. Maka kemudian Irak diserang.

Serangan ini menakuti banyak negara. Myanmar, pada 2006 atau tiga tahun setelah invasi, sampai pemindahan ibu kota dari Yangoon ke Naypyidaw dipercepat, karena takut diserang Amerika. Ini spekulasi analis saat itu. Naypyidaw, yang berada di pedalaman, lebih susah diinvasi dibanding Yangoon di pinggir laut.

Ukraina tahun ini juga sama. Saat masih gabung Uni Soviet, mereka memiliki hulu ledak nuklir. Tapi begitu Uni Soviet bubar dan berdiri sendiri, Ukraina melepas seluruh persenjataan nuklir mereka. Mereka cukup puas dengan janji Rusia, bahwa mereka tak akan diserang jika nuklir diserahkan.

Kita tahu sendiri, janji itu begitu gampang menguap kalau tanpa jaminan. Maka Rusia dengan gampang menyerang Ukraina pada 2022. Coba saja, kalau Ukraina masih punya nuklir, dijamin Rusia tak berani sentuh wilayahnya. Sentuh wilayah Krimea, seperti pada 2014, pun tidak.

Korea Utara pada 2003 bertindak berbeda. Meski alasan serangan ke Irak adalah adanya senjata pemusnah massal, tapi semua paham, Irak diserang justru karena tak senjata pemusnah masal. Tak punya nuklir. Kalau punya nuklir, Amerika tidak berani.

Itu sebabnya, 3 tahun setelah Amerika invasi Irak, Korea Utara sudah uji coba ledakan bom nuklir. Amerika tak lagi berani serang mereka.

sumber: quora

Terkait
Sumber Referensi Cerdas | Beragam Informasi Unik dan Berani
Copyright ©2024 bearita.com All Rights Reserved