Sejarah Singkat Peristiwa Kelam Gedoran Depok
Para Depokkers. Foto diambil pada tahun 1939
Keberadaan komunitas yang bernama Kaum Depok tidak terlepas dari seorang tuan tanah yang bernama Cornelis Chastelein. Beliau memiliki tanah yang luas di Depok dan Lenteng Agung. Untuk mengelola tanahnya, beliau mendatangkan 150 budak yang berasal dari Bali, Makassar, dan wilayah Indonesia timur lainnya.
Para bekas-bekas budak Cornelis Chastelein menetap di Depok dan beranak pinang sampai memiliki keturunan. Keturunan-keturunan bekas budak Chastelein ini memiliki gaya hidup seperti orang Belanda. Mereka menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa sehari-hari, makan di meja makan, menggunakan sendok dan pisau ketika makan, mengenyam pendidikan barat, dan menganut agama Kristen Protestan. Karena itulah, orang-orang setempat menyebut mereka "Belanda Depok".
Penduduk setempat yang tinggal di kampung-kampung tak jauh dari orang Belanda Depok itu tinggal memiliki inferiority complex terhadap mereka. Ketika berpapasan dengan orang Belanda Depok, mereka akan membungkuk dan mengucapkan "tabek tuan", "tabek nyonya", "tabek nona", dan "tabek sinyo". Ketika penduduk setempat melihat orang Belanda Depok memakai topi, mereka akan melepasnya dan meletakkanya di depan dada sambil bungkuk dan berucap "tabek".
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, terjadi kekacauan di beberapa daerah. Para pemuda-pemuda bersenjata mulai menyerang orang-orang yang dahulunya pernah bekerja sama dengan Belanda. Tidak hanya orang Belanda saja, tetapi juga orang Indo dan Tionghoa. Peristiwa ini dikenal sebagai Masa Bersiap.
Depok tidak luput dari peristiwa ini. Masa Bersiap di Depok dimulai pada tanggal 7 Oktober 1945 ketika penduduk setempat melarang pedagang untuk berjualan kepada orang Eropa dan Kaum Depok. Dua hari berselang, para gerombolan-gerombolan mulai merampok rumah-rumah lima keluarga di Depok yang diduga memiliki hubungan dengan Belanda.
Puncaknya terjadi pada tanggal 11 Oktober 1945. Para gerombolan yang terdiri dari 4000 orang tidak hanya menyerang rumah milik Kaum Depok dan orang Eropa, merusak barang-barang milik mereka, dan merampok, tetapi juga melakukan tindakan pembunuhan. Bahkan ada satu keluarga yang dibantai yaitu keluarga De Bruin. Mayat-mayat mereka kemudian dibuang ke sungai.
Para penduduk Kaum Depok dan Eropa memilih untuk bersembunyi di hutan. Naasnya, selama dihutan, keamanan mereka tidak terjamin. Pasalnya, masih saja dijumpai perampok yang ingin mencuri pakaian, makanan, uang, dan permata.
Keesokan harinya, para gerombolan-gerombolan ini mengumpulkan pria, wanita, dan anak-anak. Mereka meminta laki-laki untuk melepaskan seluruh pakaiannya kecuali celana dalam sedangkan wanita diminta untuk melepaskan seluruh pakaiannya kecuali BH. Setelah itu, mereka digiring ke Stasiun Depok dengan todongan pistol.
Sesampainya di stasiun, tahanan laki-laki dan perempuan dipisah. Yang perempuan dan anak-anak dibawa ke Gementee Bestur sedangkan yang laki-laki dibawakan ke Bogor untuk ditahan di sana. Selama perjalanan, gerbong kereta penuh dengan tahanan dan jendela kereta ditutup. Akibatnya ada yang pingsan.
Sesampainya di Bogor, para tawanan pria dibawa ke penjara Paledang. Tidak lama berselang, pasukan NICA tiba di Bogor pada tengah malam hari dan membebaskan mereka. Tentu mereka sangat senang dengan keberadaan NICA. Setelah dibebaskan mereka ditempatkan di Kamp Pengungsian Kedung Halang sampai tahun 1949.
Bagi tawanan perempuan dan anak-anak, mereka ditahan di Gedung Gementee Bestur selama 3–4 hari. Selama disana, para gerombolan mengancam akan membakar semua tahanan karena banyak dari mereka yang menangis. Ancaman tersebut semakin menguat ketika ditemukannya drum minyak tanah. Selain itu juga, ada tawanan yang hampir mau digorok. Beruntungnya, upaya tersebut gagal karena para tawanan meminta agar dia tidak dibunuh.
Untungnya ancaman itu tidak terjadi. Hal tersebut disebabkan pasukan NICA datang ke lokasi dan membebaskan mereka. Mereka dibawakan ke Bogor. Selama perjalanan, truk yang mengangkut para perempuan dan anak-anak Kaum Depok diserang oleh gerombolan. Dua orang tewas. Sesampainya di Bogor, mereka ditempatkan di Kedung Halang.
Akibat dari peristiwa ini, banyak Kaum Depok yang lebih memilih memihak kepada Belanda. Banyak laki-laki dari Kaum Depok yang bergabung dengan KNIL. Akan tetapi, pada tahun 1949, mayoritas penduduk Kaum Depok memilih untuk menjadi WN indonesia daripada Belanda. Hal ini disebabkan mereka memiliki keterikatan yang kuat terhadap Depok. Sulit sekali untuk pisah dari Depok. Namun, ada juga kaum Depok yang memilih untuk pindah ke Belanda dan jumlahnya tidak banyak.
Semenjak peristiwa itulah, kejayaan Kaum Depok menghilang dan mengalami krisis identitas. Mereka sudah tidak lagi menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa sehari-hari. Selain itu juga, mereka mulai mengidentifikasi diri sebagai orang Indonesia asli padahal selama masa penjajahan, mereka lebih mengidentifikasi dirinya sebagai orang Belanda.