Sejarah Singkat Awal Mula Konflik Israel-Palestina yang Jarang Diketahui

Sejarah

Ilustrasi Israel dan Palestina

Penulis:Bearita.com

Apa saja hal-hal yang tidak diungkapkan media di Indonesia tentang konflik Israel dan Palestina?

Hal terpenting yang mungkin media Indonesia tidak ungkapkan tentang konflik Israel-Palestina adalah penjabaran bagaimana konflik ini tercipta bersama aktor-aktor yang ada, utamanya persaingan antara dua negara imperialisme besar yaitu Inggris dan Prancis yang akhirnya menciptakan konflik berkepanjangan yang jika kita cari titik awalnya sudah mulai sejak seratus tahun lalu.

Konflik Israel-Palestina sama tragisnya dengan tragedi yang ditulis Shakespere, di mana para aktor berteman, berkhianat, melakukan konspirasi, sampai menikam dari belakang.

Jika ada pihak yang dunia bisa mintai pertanggung-jawaban, Britania Raya adalah jawabannya. Berbagai pihak memberikan kesimpulan bahwa politik yang negara ini terapkan di Timur Tengah dilandasi oleh oportunisme militer, ketakutan atas ekspansi Prancis dan Rusia dan keinginan untuk memanipulasi bangsa Yahudi dan Arab. Menurut Prancis, zionis merupakan hasil cipta Britania Raya yang menjadi penyebab mayoritas permasalahan yang terjadi di Timur Tengah sejak awal keruntuhan Ottoman.

Setelah tahun 1894, Jerman Prussia di bawah pimpinan Wilhelm II, melaksanakan politik "weltpolitik" dengan tujuan menandingi Britania Raya dalam kompetisi negara besar dunia. Dalam konteks ini, Prusia memperluas pengaruh militer dan ekonominya di wilayah kekaisaran Ottoman.

Jerman berpendapat bahwa dalam peperangan masa depan, mereka bisa memanfaatkan panislamisme (gerakan politik dan agama berdasarkan Islam) untuk mencapai target mereka menjadi negara yang paling berkuasa di dunia. Jihad made in Germany lahir, dan untuk ini Prusia mengirimkan banyak utusan ke berbagai penjuru Timur Tengah dari tanah Arab, India sampai ke Afghanistan.

Mulai tahun 1912, Kitchener petinggi militer Inggris yang ditugaskan di Kairo-Mesir mulai khawatir dengan kemampuan dinasti Utsmaniyah untuk melindungi keutuhan kekaisaran mereka. Disebut sebagai "pria penyakitan Eropa", kekaisaran Ottoman sedang diambang kebangkrutan dan untuk mengantisipasi hal ini, Inggris sudah menyiapkan beberapa proyek, termasuk melalui pertemuan dengan Abdullah, putra Hussein bin Ali yang saat itu menjadi syarif Mekah. Kitchener mempunyai firasat bahwa Inggris memerlukan dukungan separatis Arab untuk kepentingan mereka di masa depan.

Tahun 1914, perang Dunia Pertama pecah di Eropa dan merembet ke Timur Tengah. Ottoman bersekutu dengan Jerman sedangkan Inggris bergabung dengan Prancis dan Rusia. Untuk melemahkan posisi Ottoman, Inggris ingin memanfaatkan orang Arab dengan mendukung pemberontakan mereka. Perlu diingat bahwa selama empat ratusan tahun, kekaisaran Ottoman telah mendominasi Timur Tengah, dan pada awal tahun 1900-an, Inggris mendapat informasi adanya gerakan separatisme di kalangan Arab untuk melawan kekuasaan Istambul. Pada saat itu mereka masih belum bisa menentukan siapakah yang akan didukung sebagai pemimpin pemberontakan dan kandidat yang ada adalah Hussein Bin Ali dan Abdulaziz of Saudi Arabia (yang nantinya mendirikan Arab Saudi). Dianggap sebagai pemimpin wahhabisme yang menghalalkan segala cara termasuk membunuh orang semena-mena termasuk sesama muslim yang tidak sesuai dengan konsep mereka, hal tersebut menjadikan Abdulaziz bukan kandidat yang baik di mata Britania Raya. Karena itu Hussein Bin Ali dipilih dan bersama putra-putranya terutama Abdulah dan Faisal, mereka kemudian menjadi pemimpin yang mempromosikan kemerdekaan Arab. Di masa depan Abdulah menjadi raja Yordania dan Faisal menjadi raja Irak.

Korespondensi Hussein-Macmahon.

Hussein bin Ali, di Amman Transyordania. Foto: Library of Congress, coll. Matson (G. Eric and Edith)

Dalam surat korespondensi antara tahun 1915–1916 antara Hussein dan petinggi Britania yaitu Macmahon, Hussein mewakili bangsa Arab menyatakan keinginan mereka untuk merdeka dan mendirikan Khilafah di Arab Timur Tengah. Bersama surat tersebut dia merinci wilayah apa saja yang dia klaim sebagai tanah Arab. Macmahon menjawab bahwa klaim tersebut disetujui oleh Britania Raya. Namun antara kedua pihak ada kesalahpahaman/miskomunikasi, tidak hanya karena masalah penerjemahan yang rumit tapi juga masalah perbedaan konsep yang sangat berbeda. Macmahon memang sengaja berbicara tidak jelas agar bisa mengelak dengan mudah di masa depan jika dimintai penjelasan.

  • Hussein menggunakan istilah vilayet (wilayah) yang merupakan warisan Ottoman sedangkan Macmahon menggunakan istilah distrik. Wilayah yang disebut oleh Macmahon tidak sesuai dengan distribusi vilayet dalam peta Hussein sehingga ketika Hussein berusaha mengerti isi surat Macmahon, bagi Hussein isinya banyak yang membuat pusing kepala.
  • Arti kemerdekaan bagi Hussein adalah merdeka dari kekuasaan apapun sedangkan bagi Macmahon merdeka artinya merdeka dari kekuasaan Ottoman. Dalam perspektif Britania Raya, bangsa Arab bisa merdeka dan mendirikan khilafah tapi berada di bawah naungan bendera Britania Raya.
  • Macmahon menyetujui memberikan kemerdekaan dan mendirikan negara khilafah hanya pada wilayah yang dia anggap sebagai Arab murni (yang mempunyai peradaban Islam saja) sisanya yaitu Arab Campuran (yang mempunyai sejarah kebudayaan lain terutama Kristen) diperkecualikan. Palestina saat itu, meskipun tidak ditegaskan cakupan wilayahnya, tidak diberikan kepada Hussein karena di sana kerajaan Kristen pernah ada dan banyak orang Kristen yang menjadi penduduk wilayah tersebut. Bagi Hussein, istilah purely Arab tidak masuk akal karena dalam pengertian orang Arab saat itu, penduduk Kristen dan Islam yang tinggal di Timur Tengah saat itu mempunyai nenek moyang yang sama.

Faisal putra Hussein memimpin pasukan Arab menuju El-Ouedj. Foto: TE. Lawrence.

Tidak seperti yang legenda katakan, pemberontakan Arab yang dimulai pada Juni 1916 hanya disambut oleh beberapa tribu Arab saja dan bukan berskala besar. Tidak disiapkan secara matang dengan perlengkapan yang tidak canggih mereka mengalami kesulitan menahan posisi mereka terutama saat berada di Mekah. Inggris dan Prancis yang seharusnya membantu mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak bisa mengirim pasukan karena kedua negara menganggap bahwa Mekah adalah Tanah Suci dan kehadiran tentara Kristen akan sulit diterima warga lokal. Untuk membantu para pemberontak, Prancis mengirimkan beberapa ratus tentara dari Afrika Utara karena mereka beragama Islam sehingga menjadi halal di mata Prancis dan bersama mereka Prancis juga mengirimkan tim produksi untuk membuat film propaganda pro-Islam yang nantinya akan disiarkan di Afrika untuk membangkitkan semangat mereka untuk berperang di sisi Prancis.

Perjanjian Sykes-Picot, 12 Mei 1916.

Sebelum Ottoman runtuh Prancis dan Britania Raya sudah mencanangkan program untuk membagi-bagi wilayah Ottoman jika mereka kalah. Dalam negosiasi, Sykes mewakili Britania Raya dan Picot Prancis. Dalam perundingan mereka membagi wilayah Ottoman dengan nama Arabia untuk wilayah yang akan diberikan untuk Britania Raya dan Suriah untuk Prancis.

Di antara daerah yang Britania inginkan ada Bagdad karena mereka punya rencana menjadikan kota ini sebagai lumbung dunia dan daerah transit untuk menghubungkan Asia dan Eropa dan pelabuhan Haifa (Israel sekarang) karena mereka ingin mengamankan Terusan Suez yang mereka kuasai. Di sisi lain Prancis menginginkan daerah di Suriah, Libanon dan Kilikia karena secara historis Prancis mempunyai hubungan dekat dengan minoritas Kristen Maronites, yang menjadi penduduk wilayah ini. Walaupun Prancis menjadi negara anti agama, tapi mereka merasa perlu untuk melindungi kelompok agama ini.

Perjanjian ini diketahui oleh Rusia dan mereka bertanya apakah Yerusalem masuk Suriah Prancis? Prancis menjawab ya dengan argumen bahwa mereka adalah keturunan dari mereka yang melakukan Perang Salib. Karena tidak menemukan kesepakatan maka Yerusalem dijadikan zona internasional.

Pada awalnya dokumen ini dinamai perjanjian Britania-Raya-Prancis atau Perjanjian Cambon-Grey (pejabat atasan Sykes-Picot) namun karena Inggris ingin meminimalisir kebohongan mereka maka beberapa tahun kemudian dokumen dinamai dengan nama para utusan saja. Semakin tinggi dan besar kedudukan pejabat maka semakin tinggi pula kedudukan sebuah dokumen. Dari sini, kita bisa melihat bahwa ketulusan Britania Raya sangat meragukan. Saat Picot menggunakan tinta hitam untuk tanda tangan, Sykes cuma menggunakan pensil abu-abu karena dia tidak puas dengan hasil perundingan atau bisa juga karena dia punya harapan agar jejaknya hilang.

Deklarasi Balfour 1917.

Kunjungan Arthur Balfour di koloni Yahudi tahun 1925.

Kekurangan dana, Inggris ingin menarik simpati dari para Yahudi terutama yang berada di Amerika Serikat karena sebagian besar bank-bank besar dikuasai oleh mereka. Bukan dokumen negara resmi, tapi dianggap sebagai landasan yang cukup kuat untuk menjadikan surat Arthur Balfour sebagai janji dari Inggris untuk menjadikan Palestina sebagai tempat pengungsian kaum Yahudi. Balfour juga adalah orang yang sama yang menyangkal keberadaan perjanjian Sykes-Picot untuk meredam kecurigaan bangsa Arab.

Faisal bersama TE. Lawrence di Versailles.

"Karena ini sesuai dengan target jangka waktu dekat kita yakin untuk menghancurkan "blok" Islam dan kekalahan dan tunduknya Kekaisaran Ottoman. Dan karena negara-negara yang menggantikan orang Turki tidak akan beresiko bagi kita, orang Arab lebih tidak stabil lagi dibandingkan orang Turki. Ditangani dengan benar, mereka akan tetap menjadi negara mosaik politik, rantaian kerajaan-kerajaan kecil yang saling mencemburui dan tidak mampu bersatu."

Thomas Edward Lawrence (Januari 1916)

Mengetahui ide penempatan kaum Yahudi di Palestina, sebagai pemimpin Arab Faisal menolak ide ini tapi TE. Lawrence yang dikenal sebagai Lawrence of Arabia berhasil meyakinkan Faisal bahwa kohabitasi dengan kaum Yahudi tidaklah seburuk yang dia duga. Tapi sejarah membuktikan bahwa Lawrence bukan orang yang jujur karena pada beberapa kesempatan dia sengaja menerjemahkan pembicaraan perundingan secara tidak benar untuk kepentingan Inggris. Contohnya dalam perjanjian di Akaba tahun 1919 yang ditandatangani oleh Chaïm Weizman (perwakilan sioniste) dan Faisal ((perwakilan Arab), kedua utusan tersebut tidak mempunyai versi cerita yang sama. Hal ini bisa dibuktikan melalui surat yang dikirim oleh Weizman dan Faisal kepada kerabat mereka. Jika Faisal mau menyetujui isi perjanjian Akaba, itu karena dia mengira bahwa Palestina hanyalah tempat penampungan orang Yahudi saja sedangkan Weizman mengira bahwa secara politik, kemungkinan untuk membangun negara Yahudi benar-benar ada. Faisal menambahkan bahwa dia menerima ketentuan dari perjanjian asalkan Britania Raya menepati janji mereka yaitu memberikan kemerdekaan untuk bangsa Arab. Tambahan yang pada akhirnya tidak dihormati oleh Inggris.

Lawrence of Arabia.

Faisal menginginkan pembatalan perjanjian Sykes-Picot namun terpaksa menyerah karena secara ekonomi dia tergantung pada subsidi Inggris dan Prancis. Dia berusaha dengan berbagai cara mencari dukungan Prancis namun karena dia sering plin plan maka kredibilitasnya menurun. Prancis dan Inggris akhirnya membagi bekas wilayah Ottoman dan menjadikan wilayah ini sebagai negara mandat kedua negara.

Sejak awal Prancis tidak menyukai ide zionisme di Palestina karena Prancis memprediksi hal ini akan menjadi sumber masalah besar sehingga Prancis tidak keberatan memberikan daerah Palestina kepada Inggris dan dengan ini berarti Prancis memulai okupasi militernya di Suriah.

Pertanyaan batas-batas wilayah yang disebut Palestina kemudian muncul,karena sekarang Suriah berbatasan dengan Palestina. Akan tetapi, daerah mana yang disebut sebagai Palestina? Masalahnya, batas Palestina berubah-ubah seiring dengan pergantian dinasti yang berkuasa di daerah ini. Perdebatan ini sudah dimulai sejak konferensi Deauville-Prancis sampai konferensi San Remo 1920. Untuk menentukan wilayah Palestina maka para perunding menggunakan Alkitab sebagai acuan atau lebih tepatnya peta karya George Adam Smith. Faisal menolak menghadiri konferensi San Remo sehingga wilayah Palestina diputuskan tanpanya.

Prancis yang tetap anti zionis tidak menerima koloni Yahudi menyebar ke wilayahnya yaitu Suriah kemudian membuat perbatasan bea cukai yang disebut garis Galilea.

Di pihak warga Palestina, semakin banyaknya orang Yahudi Eropa yang berdatangan membuat mereka semakin putus asa. Kemarahan mereka semakin besar karena revendikasi mereka tidak didengar Inggris dan mereka merasa telah dipermainkan oleh Eropa. Kemarahan ini memuncak dan menjadi awal kerusuhan yang terjadi pada hari raya peringatan Nabi Musa tahun 1920. Dalam kerusuhan ini warga Palestina menyerang populasi Yahudi yang mengakibatkan kematian dan luka-luka kedua pihak.

Cerita konflik Israel-Palestina kemudian mulai dan sampai sekarang belum berakhir padahal akhir dari cerita ini adalah titik sentral untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah. Keruntuhan kekaisaran Ottoman merupakan awal dari terbentuknya identitas nasional di berbagai penjuru wilayah bekas Ottoman, yang kemudian membentuk negara-negara homogen. Tak jarang pembantaian etnis dan agama berbeda terjadi setelahnya. Libanon memutuskan berpisah dengan Suriah Prancis, orang Armenia mewujudkan negara mereka sendiri, dan bekas wilayah Ottoman menjadi negara-negara kecil (Arab Saudi, Qatar, Turki, Yordania dsb) yang saling berebut pengaruh dan kekuasaan seperti yang dikatakan Lawrence.

Bagi Inggris, Perang Dunia Pertama adalah kesempatan untuk melakukan operasi strategis yang sangat cerdas: untuk membangun pengaruh mereka atas wilayah yang luas mulai dari India hingga Mesir setelah mengusir Kekaisaran Ottoman yang menguasai sebagian besar wilayahnya. Tanpa Inggris yang menjanjikan wilayah yang sama kepada beberapa pihak yang berbeda, konflik Israel-Palestina tidak akan pernah ada.

Referensi :

  • Henry Laurens: Les Crises d’Orient
  • Benny Morris: Histoire revisitée du conflit arabo-sioniste
Terkait
Sumber Referensi Cerdas | Beragam Informasi Unik dan Berani
Copyright ©2024 bearita.com All Rights Reserved