Singkawang: Desa Kecil Bertransformasi Menjadi Kota Perdagangan Terbesar ke-2 di Kalbar

Sejarah

Penulis:Bearita.com

Hakka atau Khek adalah salah satu suku yang ada di kepulauan Indonesia. Berikut ini tulisan saya di Majalah GALERI Edisi Oktober 2014, mengenai kehidupan orang Hakka di Kalimantan Barat.

Sejarah seni Indonesia adalah sejarah pertemuan bangsa-bangsa. Kita mengembangkan seni rupa modern setelah bergaul dengan bangsa Barat, terutama Eropa. Tapi, kita juga menerima pengaruh dari Timur bahkan lebih awal.

Itu terjadi ketika kesenian India, Timur Tengah, dan Tiongkok muncul pada arsitektur, seni patung, seni kriya, kaligrafi dan iluminasi, juga pada seni keramik di sebagian kepulauan nusantara.

Salah satu pusat keahlian membuat keramik ada di Singkawang, sekitar 145 km di utara Ibukota Pontianak. Kota ini juga punya sejarah yang menarik.

Semula Singkawang adalah sebuah desa di wilayah kesultanan Sambas, Kalimantan Barat, tempat singgah orang-orang Tionghoa penambang emas di kota Monterado. Kebanyakan imigran Tionghoa yang ada Singkawang, bahkan di wilayah lain di Kalimantan Barat, adalah orang Hakka --disebut juga sebagai orang Khek.

Nama Singkawang pun berasal dari bahasa Hakka, San-kew-jong (山 口 洋), yang artinya ‘muara dan gunung’. Selain orang Hakka, imigran asal Tiongkok lainnya adalah orang Teochew atau Tiociu, meski tak sebanyak orang Khek.

Ternyata, pada awal abad ke-18 di Kalimantan pernah berdiri negara Hakka, namanya Lan Fang, disebut-sebut sebagai negara republik pertama di Asia. Pendirinya adalah orang Khek bernama Low Lan Pak (Luo Fangbo), seorang mantan guru yang bersama-sama imigran Cina lainnya mencoba menjadi penambang emas di Kalimantan Barat.

Low berhasil menyatukan banyak kongsi dan membangun permukiman tambangnya sendiri. Ia makin popular ketika membantu sultan lokal menghadapi saingannya, dan imigran Hakka lainnya pun berdatangan. Low sukses mendirikan negara republik pada 1777 dan menjabat presiden di sana.

Tapi, kekuasaan kolonial Belanda tak membiarkan negara itu berdiri dan mulai mengadu domba negara itu dengan sultan lokal. Lan Fang harus berakhir pada 1888, dan warga Tionghoa harus eksodus melanjutkan migrasi ke Sumatera, Singapura, dan pulau-pulau lainnya.

Dalam perkembangannya, desa Singkawang yang dikelilingi gunung dan dinilai menghadap ke Laut Natuna itu dinilai strategis dan menjanjikan buat perkembangan bisnis. Yang jelas, banyak penambang yang lalu beralih profesi jadi petani dan pedagang. Kini Singkawang dikenal sebagai kota perdagangan terbesar kedua di Kalimantan Barat setelah Pontianak.

Yang tetap bertahan adalah para perajin keramik. Mereka telah ada di Singkawang sekitar tahun 1890-an. Diperkirakan pada kurun 1930-an banyak orang Tionghoa yang membawa para perajin dari Guangdong (Kwangtung), Tiongkok untuk mengerjakan keramik.

Ketika para pendatang ini menemukan bahan kaolin di tanah sekitar Singkawang yang cocok sebagai pembuat keramik, Singkawang berkembang menjadi kota penghasil keramik. Meski sebatas industri kecil, produsen keramik ini telah memasarkan produknya hingga ke mancanegara, antara lain ke Malaysia dan Singapura.

Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta pernah mendatangkan orang-orang Singkawang dalam sebuah pameran bertema Tajau-tajau Naga Singkawang (2007). Tajau adalah wadah-wadah tempayan, di Indonesia umumnya disebut guci.

Yang khas dari produsen keramik tradisional ini adalah, para penganjunnya (perajinnya) membuat tungku seperti yang ada di negeri asal mereka. Tungku pembakaran (kiln) ini bentuknya memanjang seperti makhluk mitos naga. Karenanya disebut tungku naga (dragon kiln).

Pameran ini terselenggara berkat kerja sama antara pihak sentra industri keramik yaitu Borneo Lentera Prima dan Dinamis, para kolektor, dan Museum Provinsi Kalimantan Barat.

Kata Kepala Museum SR dan Keramik Jakarta saat itu, Drs H Indra Riawan, MHum, “Tema pameran ini dipilih mengingat masih kuatnya tradisi yang tetap bertahan di era globalisasi saat ini. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan sentra industri keramik Singkawang patut diacungi jempol karena tetap melestarikan nilai-nilai sejarah dan karya seni keramik tradisonal.”

Tungku naga di Singkawang panjangnya mencapai 25 hingga 38 meter, lebar sekitar 150 cm, dan tingginya setinggi anak-anak sekitar 70-120 meter. Para imigran yang kemudian menetap di sini membuat sedikitnya empat dragon kilns, produk tiruan sebagaimana bentuk aslinya, yang kini bahkan tak dapat dijumpai lagi di daerah asalnya di Tiongkok.

Kapasitas tungku cukup luas untuk memuat 5000 mangkok, 6000 piring, serta beberapa ratus guci dan pasu. Menggunakan teknologi pyro untuk menaikkan suhu pembakaran keramik minimal 1200⁰ C, sepanjang badan naga dilengkapi jendela pengintip untuk mengontrol suhu dan tingkat kematangan, juga untuk menambahkan bahan bakar berupa kayu.

Suhu yang tinggi menyebabkan dinding dalam perut naga menampakkan lelehan glazir yang melapisi dinding-dinding. Ini membuat perut sang naga bertahan hingga puluhan tahun. Tepatnya, sejak sentra-sentra keramik itu berdiri sejak setengah abad lalu.

Namun, masa kejayaan keramik Singkawang mendadak menurun drastis pada 1960-an. Pada 1967, penduduk Tionghoa yang telah ada dan menetap di Kalimantan Barat sejak abad ke-18 tiba-tiba hijrah berpencaran ke segala arah. Di kota emas Monterado nyaris tak dijumpai lagi orang Tionghoa, yang ada tinggal warga Melayu, Dayak, dan Bugis. Ada apa gerangan?

Kalimantan Barat tahun 1967. Puluhan ribu warga Tionghoa yang tinggal di pedalaman sekali lagi hijrah ke berbagai wilayah di Kalimantan, Jakarta, Singapura, Hongkong, Taiwan, atau ke daratan Tiongkok. Jika kedapatan tidak mengungsi, jiwa mereka terancam. Rumah dan tempat usaha mereka dibakar.

Mereka adalah korban kebijakan antikomunis pemerintah Orde Baru, yang di tingkat lapangan dipraktikkan menjadi pengusiran dan pembunuhan terhadap orang-orang Cina. Jurnalis Muhlis Suhaeri menuturkan, peristiwa itu terkait aksi militer Indonesia menumpas para mantan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU), dua pasukan bentukan militer RI pada masa pemerintahan sebelumnya.

PGRS dan PARAKU beranggotakan banyak warga Tionghoa, dibentuk Presiden Soekarno guna menghadapi Malaysia yang saat itu didukung Inggris yang anti-komunis. Ketika Orde Baru berdiri, ganti tentara memerangi kedua pasukan tersebut. Kali ini melibatkan warga sipil lokal (orang Dayak).

Mayoritas warga Hakka terusir dari wilayah yang telah menjadi kampung halamannya sejak lebih dari 150 tahun lalu. Mereka dan kelompok Tionghoa lainnya dituduh berafiliasi ke komunis. Hal itu terus berlangsung hingga 1969, ketika pemerintah merelokasi para pengungsi itu dan memberi tanah selebar 1,5 meter untuk setiap pengungsi.

Sementara di Singkawang, di kota yang pernah mengharumkan keramik, sebagian warga Hakka masih bertahan menyalakan tungku naga.

Puncak masa keemasan keramik Singkawang adalah antara 1955 dan sebelum 1967. Liauw A Tjiu pemilik pabrik keramik Yu Hua menceritakan, tajau sempat jadi produk andalan ketika banyak pembeli berdatangan memesan pada masa ayahnya. Tak cuma orang Kalimantan, orang Sulawesi dan Madura datang khusus pesan guci.

“Mungkin Bapak tidak percaya, mereka berani taruh uang muka sebelum tempayan jadi,” kata Liauw, menuturkan bahwa orang-orang Madura datang memborong keramik untuk dijual ke pelosok-pelosok nusantara.

Hakka jelas merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia. Mereka adalah salah satu dari empat sub-etnik Han asal Tiongkok yang bermigrasi ke nusantara, bersama-sama orang Hokkien, Teochew, dan Kanton. Taman Mini Indonesia Indah Jakarta mendirikan Museum Hakka Indonesia pada tahun 2014.

Bangunan berbentuk bundar mirip rumah Hakka di Tiongkok ini terdiri dari tiga lantai, masing-masing Museum Tionghoa Indonesia, Museum Hakka Indonesia, dan Museum Yongding Hakka Indonesia. Kehadiran orang Hakka memang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia, termasuk sejarah kelam pada periode 1967--1969.

Bagaimana masa depan keramik singkawang? Adakah sang naga akan kembali menggeliat untuk memproduksi karya-karya terbaiknya? Sejarah pula yang akan menjawabnya.

sumber: Sejarah Kalimantan Barat

Terkait
Sumber Referensi Cerdas | Beragam Informasi Unik dan Berani
Copyright ©2024 bearita.com All Rights Reserved