Karakter dan Perbedaan Pengguna Twitter, Instagram dan Facebook

Unik

Ilustrasai media sosial

Penulis:Bearita.com

Media sosial seperti Twitter, Instagram dan Facebook memiliki ciri khas masing-masing yang juga mambentuk cara atau pola interaksi penggunanya. Yuk simak ulasan berikut:

1. Facebook 

Facebook itu ibarat mall. Menyusuri halaman home di Facebook itu ibarat berjalan keliling mall, menyaksikan ratusan etalase toko yang memajang barang beraneka ragam. Andai ada toko yang memamerkan barang menarik, tidak jarang kamu tergoda untuk masuk ke toko itu kemudian "hunting sesuatu" di sana.

Ada toko yang etalasenya selalu fresh. Ada etalase toko yang belum pernah update semenjak 2016. Ada toko yang selalu ramai. Ada yang sepi seperti kuburan. Banyak terdapat toko yang punya pelanggan setia untuk segmen pasar tertentu, mulai dari komunitas sepeda motor hingga grup ibu-ibu arisan.

Dikarenakan desain Facebook yang seperti mall, akibatnya :

  • Urusan keluarga jadi urusan satu negara. Banyak yang menaruh masalah keluarga di etalase, akibatnya jadi tontonan seluruh pengunjung mall.
  • Naruh apapun di etalase. Mulai dari foto kemesraan sampai foto anjing.
  • Tempat bapak-ibu reunian. Selera generasi jadul, gitu katanya.
  • Echo-chamber dan solidaritas. Senang Liverpool? Ada tempatnya. Fanatik agama? Ada tempatnya. Demen Jokowi? Ada tempatnya. Akibat banyaknya kelompok-kelompok ini sudut pandang dari pengguna Facebook terkurung dalam "komunitas satu pandangan" yang apa-apa main keroyokan.
  • Jokowi. Prabowo. Unfriend. Tidak perlu dijelaskan lagi.
  • Banyak orang jualan. Lha emang itu tujuannya.
  • Banyak orang pamer. Lha emang itu tujuannya.
  • Banyak akun palsu dan akun duplikat.
  • Banyak yang posting kenangan. Barang jadul keluar lagi di etalase.
  • Klik "Like" dan katakan "Amin". Kaya bantuin mbak-mbak Greenpeace di auditorium mall buat tanda tangan petisi.

2. Twitter

Twitter itu ibarat alun-alun. Alun-alun itu berisik. Semua orang bicara tanpa ada tembok penyekat. Mengelilingi linimasa Twitter itu ibarat keluyuran di alun-alun Kota Tua. Pada hari tertentu di sini terdapat karnaval yang menarik, pada lain hari isinya cuma orang rusuh. Pada masa kampanye, biasanya ada yang teriak-teriak bawa TOA di tengah-tengah lapangan.

Menariknya, alun-alun penuh dengan orang-orang berbakat. Ada badut lucu, tokoh masyarakat, komedian garing, aktivis lingkungan hingga pemusik jalanan pun ada. Tapi kalau sudah maleman sedikit, ada yang jual diri.

Dengan struktur Twitter yang mirip alun-alun, akibatnya :

  • Short attention span. Pengguna Twitter itu punya daya konsentrasi selevel dengan ikan mas koki. Saat ini ramai apa, lima menit lagi sudah ganti topik.
  • Lebih terbuka. Karena mudah terekspos sudut pandang lain-lain.
  • Less judgmental. Ayolah, sejelek apapun atraksi badut di Kota Tua, kita tak bakalan mencaci-maki dia. Kecuali kalau memang sudah keterlaluan.
  • Indie. Kopi. Senja. Bukan campursari, ciu, tengah wengi.
  • Egaliter. Tua, muda, kaya, miskin, ngetop, nobody, semua ikut adu bacot.
  • Perang #hashtag. Kuat-kuatan urat leher.
  • Banyak gosip seru. Hari ini rame, besok pas dicari sudah tidak ada.
  • Banyak pendongeng horor.
  • Curhat sama orang-orang yang tidak dikenal. Ini gak ada bedanya sama sambat di tengah alun-alun Jogja.
  • Tempat para pemula mendaki tangga popularitas. Kalau sering kelihatan, ngumpulin fanbase, ntar lama-lama ngetop sendiri.

Instagram

Instagram itu ibarat trotoar. Di kanan iklan wisata murah, di kiri reklame kue Lebaran, di depan papan informasi pemerintah, di belakang foto seleb "agak kurang terkenal" yang wajahnya menuhin videotron. Menjelajahi Instagram laiknya jalan-jalan menyusuri trotoar Shibuya dan membiarkan diri kita dijejali informasi-informasi visual dan instan.

Dikarenakan luapan informasi yang didesain seakan-akan semuanya terlihat begitu menarik, pemilik papan-papan reklame itu berebut atensi pejalan kaki. Hal tersebut menyebabkan konten-konten Instagram menjadi bombastis, tetapi kurang memiliki esensi mendalam. Lha emang iya, memangnya siapa mau bahas filsafat di trotoar?

Dengan desain ala trotoar di Instagram, akibatnya :

  • Paling gampang buat pamer materi. Soalnya serba-visual.
  • Semua glowing. Seakan-akan di dunia ini tidak ada orang miskin.
  • Posting satu kali, lihatnya lima detik, ngeditnya dua jam. Wajar saja sih, namanya juga papan reklame.
  • Instastory.
  • Instastory tapi yang nonton cuma dua. Kaya pasang reklame di gang.
  • Banyak influencer yang mencari penghasilan via endorse. Sebenarnya ini nggak ada bedanya dengan nonton iklan yang diglorifikasi. Kalau follower di Instagram sudah banyak, biasanya jadi ikut-ikutan buka jasa endorse.
  • Menaikkan followers adalah jalan ninjaku.
  • Buat jualan dan promo.
  • Cenderung tidak community-based. Semua informasi serba instan.
  • Posting ulang yang ramai di Twitter atau Facebook. Ada pelawak lucu di alun-alun, tinggal difoto terus ditampilkan buat seru-seruan.
Terkait
Sumber Referensi Cerdas | Beragam Informasi Unik dan Berani
Copyright ©2024 bearita.com All Rights Reserved