Kejahatan Siber dan Manipulasi Kebebasan

Opini

Fahrul Muzaqqi, Dosen FISIP Unair Surabaya

Penulis:Bearita.com

"...individu di era kapitalisme mengalami paradoks. Di satu sisi semakin otonom dan solider namun di sisi lain ringkih dalam solidaritasnya dan gelisah dalam ketidakamanan"

Bearita.com - Kebebasan, sekali lagi, menemui medan terjal tatkala berhadapan dengan digitalisasi kehidupan. Makin curam manakala konsep itu didiskursuskan dalam suasana krisis. Kasus penangkapan Ravio Patra akibat kekritisannya kepada pemerintah, khususnya menyorot konflik kepentingan sejumlah staf khusus milenial Presiden menjadi noktah betapa kebebasan bukanlah entitas yang mudah diobjektivasi sekalipun di negara demokratis.

Dunia digital ibarat Dewa Janus. Ia menawarkan ketidakterbatasan cakrawala informasi dan pengetahuan. Namun di balik itu, rumus-rumus algoritma yang beroperasi di balik cakrawala digital sejatinya tidak sepenuhnya membentangkan luas dan dalamnya kebebasan bagi para peselancar maupun penyelamnya. Slogan “dunia dalam genggaman” sebagaimana menjadi penanda subtil bagi revolusi kehidupan manusia, pada kenyataannya tidak selalu menghadirkan keberagaman pengetahuan yang dikonsumsi setiap hari, terkecuali seseorang memiliki kemampuan literasi digital yang memadai.

Lagi-lagi, rumus-rumus algoritma mengarahkan preferensi seseorang berdasarkan pola-pola tertentu. Di sinilah kiranya konsep kebebasan menjadi problematik. Secara sadar, orang merasa memiliki kebebasan absolut untuk memanfaatkan pikiran dan panca inderanya menikmati dunia virtual. Namun secara tidak sadar, algoritma pengacakan memiliki hukumnya sendiri, yakni mengarahkan preferensi seseorang berdasarkan rekam jejak digital. Sementara pada algoritma sendiri, hanya bisa diintervensi oleh kalangan ahli teknologi informasi dan komputasi. Implikasinya, kaum awam digital tidak lagi didekati secara persuasif bahkan provokatif, melainkan lebih halus, yakni secara hegemonik via preferensi dan selera.

Ambivalensi dunia digital tersebut makin diperkeruh dengan sederet fenomena efek samping seperti hoaks dan viral. Hoaks sudah barang tentu “haram” di dunia digital, namun tidak demikian dengan viral. Viral, sebagaimana virus, mengandaikan penyebaran informasi dengan super cepat dalam skala super luas. Informasi itu bisa jadi valid, namun tidak menutup kemungkinan juga mengandung hoaks. Viral bahkan menjadi denyut nadi industri media sosial berbasis subscribe.

Nah, ketika dunia digital yang menawarkan kebebasan artifisial karena masih terbukanya ruang intervensi oleh para ekspertis bertemu dengan produk utamanya, yakni viral, maka potensi manipulasi hingga penyalahgunaan sangat mungkin terjadi. Entah secara kebetulan atau tidak, hari-hari ini dua kasus berbenang merah mengindikasikan praktik manipulasi dunia digital tersebut. Kejahatan siber terhadap Ravio Putra sebagai korban peretasan akun Whatsapp miliknya dan peretasan jutaan data pengguna laman pemasaran dalam jaringan Tokopedia. Dua kasus itu sekaligus menyentak kesadaaran bahwa peretasan adalah praktik kejahatan atas kebebasan seseorang.

Hiruk-pikuk kepanikan dan kecemasan publik menghadapi pandemi Covid-19 sejenak diinterupsi oleh dua kasus kejahatan siber tersebut. Sebagian merasa perlu merefleksikan kembali kebebasan yang selalu dalam proses menjadi (becoming), sementara sebagian lain agaknya lebih mementingkan untuk memikirkan makin suramnya ekonomi dan ancaman retaknya solidaritas sosial alih-alih merefleksikan kebebasan. Kebebasan, dalam situasi sarat kepanikan dan kecemasan, dianggap bukanlah prioritas.

Meski begitu, diskursus perihal kejahatan siber terus berlanjut sementara konsep kebebasan terus bertransformasi seiring dengan perkembangan kehidupan. Tatkala kebebasan beradaptasi dengan mode kehidupan yang serba digital, ia tidak serta merta mampu memparipurnakan dirinya sendiri. Ia justru rentan menghadapi penjara pengawasan dan pendisiplinan dari segala penjuru laiknya panoptikon, yakni menara pengawas yang berfungsi mendisiplinkan penghuni penjara hingga ke bilik-bilik tersembunyi.

Apa yang digambarkan oleh Erich Fromm (1941) dalam bukunya, Escape from Freedom, masih sangat relevan hingga kini. Bahwa individu di era kapitalisme mengalami paradoks. Di satu sisi semakin otonom dan solider namun di sisi lain ringkih dalam solidaritasnya dan gelisah dalam ketidakamanan. Keterasingan dan kesendirian – sebagai salah satu wajah dari kebebasan modern – akan melahirkan disintegrasi mental. Pada gilirannya, sisi kelam kebebasan inilah yang menjadikan manusia lari dari kebebasannya.

Sementara dalam dimensi berkebalikan, Isaiah Berlin dalam bukunya, Four Essays on Liberty (1969), menggambarkan konsep kebebasan positif sebagai kebebasan universal yang berpretensi menjamin kehidupan manusia dari ancaman atas kebebasan itu sendiri. Kebebasan yang pada gilirannya sangat kuat mengarah kepada negara sebagai penjamin yang sah. Namun atas nama kebebasan positif itu, negara juga berisiko tergelincir memberangus kebebasan warganya demi klaim kebebasan yang lebih luas. Konsep ini kemudian ditolak oleh Berlin dengan menghadirkan konsep kebebasan negatif yang tidak mau terjebak pada universalitas, atau klaim kebebasan yang lebih tinggi.

Kasus penangkapan Ravio Putra, sejauh negara tidak mengusut tuntas pelaku kejahatan siber di baliknya, dapat mengarah pada dugaan-dugaan tendensius bahwa aparat negara turut bermain. Di sini, konsep kebebasan positif tercermin manakala atas nama stabilitas sosio-politik, negara bisa mengintervensi dunia digital yang pada gilirannya mencederai kebebasan warganya. Negara bisa memulihkan diri dari wasangka spekulatif itu apabila memiliki itikad dan berupaya mengusut hingga mengadili pelaku peretasan akun Ravio secara hukum.

Sementara kasus peretasan jutaan data milik Tokopedia, secara moral menjadi tanggung-jawab perusahaan itu untuk mengupayakan kembalinya kerahasiaan data tersebut menggunakan sistem keamanan yang lebih canggih. Tentu ini juga membutuhkan keterlibatan negara sebagai pemegang otoritas yang sah. Alhasil, memaknai dan menegakkan kebebasan di era digital dalam suasana krisis seperti sekarang ini memang membutuhkan kejernihan pikiran sekaligus tindakan. Bagi negara, jangan sampai jatuh dalam kubangan otoritarianisme atau totalitarianisme atas nama kebebasan semu. Sementara bagi warga negara, jangan sampai mengorbankan kebebasannya untuk sesuatu yang sekejap namun berisiko berkepanjangan di masa depan.(*)

Penulis: Fahrul Muzaqqi, Dosen FISIP Unair

Editor: Anom Surya Putra

Terkait
Sumber Referensi Cerdas | Beragam Informasi Unik dan Berani
Copyright ©2024 bearita.com All Rights Reserved