Pertunjukan Angka-angka Wabah Corona Bikin Pening Kepala

Opini

Ilustrasi: Peta Sebaran Covid-19 Awal Pandemi Tahun 2020

Penulis:Bearita.com

"Seperti telah disiratkan oleh Yuval Noah Harari, Wabah Covid-19 telah menjadi pembenaran bagi negara untuk menjadi lembaga super yang mempunyai hak untuk mengawasi warga negara"

Bearita.com - Saat ini, usaha memahami merebaknya wabah Corona, tepatnya wabah Covid-19, mengharuskan kerja otak yang lebih cepat dari biasanya. Tidak hanya harus paham istilah-istilah baru yang muncul  tetapi penting juga untuk sedikitnya mengerti tentang ilmu penyakit menular atau Epidemiologi. 

Petugas pemerintah, dokter, hingga tenaga medis dan relawan yang menangani persoalan wabah sering menyebutkan istilah-istilah baru yang sebelumnya sangat jarang kita dengar. Mulai dari "lockdown", "mortality rate", "mass testing", "social distancing" sampai dengan "flattening the curve" semuanya nongol di mana-mana. Istilah-istilah itu tiba-tiba saja menjadi pembicaraan di banyak media dan media sosial, walaupun belum tentu paham antara satu dan lain hal. 

Kata "lockdown" misalnya. Harus diakui, sebelum ada wabah Covid-19, istilah ini sangat asing bagi orang Indonesia. Buktinya, banyak yang salah tulis. Alih-alih menulis "lockdown", orang-orang malah menulis "download", jauh banget bedanya. 

Lalu muncul ribut-ribut. Seperti biasa, antara politisi yang mengintip kesempatan mencuri popularitas di tengah kekalutan. Walau begitu nada-nadanya ikut menyebar ke forum-forum dunia maya. Di sana orang yang merasa paling tahu ikut bertengkar, walau entah dengan siapa. 

Di antara berbagai keributan itu muncul istilah yang paling mengusik empati. Istilah itu adalah "mortality rate". Terjemahan yang ada mungkin bisa menjadi "tingkat kematian" atau "derajat kematian". Semuanya memiliki konotasi yang berbeda-beda. Lewat istilah itu terbayanglah dunia yang sekarat dilanda bencana. Di mana-mana, dari China sampai Amerika.

Jujur, ketimbang sok tahu, akui saja hampir semua bingung dan risau menghadapi ancaman yang tiba-tiba muncul di sekeliling kita. Alih-alih tanggap, banyak pemerintah di seluruh dunia yang gagap menghadapinya. Jangan kata Indonesia, Amerika Serikat saja terlihat belangnya. 

Virus Corona Dua, biang keladi semua huru-hara ini mengharuskan banyak tindakan luar biasa. Pemeriksaan massal misalnya. Apa yang dilakukan di China dibandingkan dengan Skandinavia tentu berbeda. Apa yang dilakukan di Amerika Serikat, Korea Selatan, atau Australia semuanya tentu berbeda baik cara maupun teknologinya. Tetapi di Worldometer dan banyak sumber lain, terutama media berita, yang maunya selalu paling mutakhir, semua laporan itu seperti dianggap sama.  

Kebingungan Global

Richard Perez Pena, dari New York Times, menulis sebuah artikel pada 3 April 2020 lalu yang dia beri judul "Peaks, Testing, Lockdowns: How Coronavirus Vocabulary Causes Confusion". Dalam kerisauannya, dia mengutip pendapat Mark N. Lurie ahli Epidemiologi dari Brown University yang mengatakan bahwa sumber-sumber yang memberi kabar tentang perkembangan kasus pandemi Covid-19 mempunyai banyak kekeliruan yang mendasar (deeply flawed). Salah satu alasannya adalah sumber data. 

Data-data atau angka yang dilaporkan kepada publik atau badan kesehatan dunia adalah data yang berasal dari negara-negara atau tempat-tempat yang berbeda. Baik metode maupun peruntukan pengumpulan data itu pasti berbeda. Bagaimana mungkin asal-usul yang berbeda itu kemudian dianggap sama di dalam situs-situs yang melaporkan perkembangan bencana. 

Orang sebenarnya ingin tahu, seburuk apa keadaan ini? Tentu tidak perlu membesar-besarkan persoalan yang ada, tetapi tidak perlu juga menjadi tidak waspada. Publik bukanlah manusia-manusia yang dengan mudah begitu saja menerima tanpa periksa. Sebagian orang mungkin sedang mencari berita atau sumber informasi yang lebih layak atau lebih kuat untuk dipercaya. Sayangnya, banyak hal yang muncul di seputar Pandemi Covid-19 ini yang mudah untuk menjadi keliru. 

"Kasus Terkonfirmasi" misalnya. Antara kasus terkonfirmasi di China dengan di Korea Selatan tentu berbeda. China dengan ketertutupan media massa dan sistem pemerintahannya tentu berbeda dengan Korea Selatan yang mempunyai riwayat keterbukaan media dan demokrasi. 

Banyak kabar berbau teori konspirasi yang mengatakan China menutup banyak hal tentang wabah ini dari yang sebenarnya. Bisa jadi berita itu tidak terlalu benar adanya, tetapi tanpa ada keterbukaan media di China, angka-angka yang mereka laporkan tentu harus diberi penanda khusus. 

Richard Perez menulis bahwa China tidak pernah memberitakan berapa banyak mereka melakukan pemeriksaan di seluruh China. Sedangkan Korea Selatan, dalam laporan mereka menyebutkan telah melakukan 8000 tes per satu juta populasi. Jika populasinya sekitar 51 juta lebih, tinggal dikalikan saja.  Sebagai pembanding, Norwegia dilaporkan telah melakukan 17.000 tes hingga saat ini, populasinya sekitar 5,5 juta. Sementara Inggris, dilaporkan melakukan telah melakukan 2400 tes tiap satu juta populasi. Di belahan dunia lain, berdasarkan proyek pendataan yang dilakukan The Atlantic, Amerika Serikat telah melakukan tes sebanyak 1,2 juta kali atau sekitar 3600 kali per satu juta populasi. 

Bagaimana dengan di Indonesia? Berdasarkan pemberitaan  katadata.co.id pada 2 April 2020 secara rata-rata Indonesia berdasarkan sumber resmi hanya melakukan tes sekitar 226 kali per hari. Sangat tidak pas untuk disandingkan dengan Korea Selatan yang menurut laporan mereka bisa melakukan 15.000 tes per hari. 

Bencana Statistik

Data-data termutakhir dari WHO maupun dari pelacak virus lain seperti John Hopkins University atau Health Map, bagi pembaca umum mungkin terlihat mengesankan. Di sana bisa terlihat data yang dimutakhirkan berdasarkan waktu tertentu. Seperti layaknya penyajian data perkembangan saham dunia, angka-angka wabah Covid-19 tersaji dalam berbagai pilahan, kalau perlu dengan grafis yang dramatis. Mereka menyebutnya sebagai statistik-bencana. Tetapi, tanpa merendahkan upaya pengumpulan data yang telah dilakukan selama ini yang tentu dilakukan dengan upaya dan biaya yang besar, apa yang disajikan oleh situs-situs itu lebih tepat disebut sebagai bencana statistik. 

Mengapa bencana? Kembali ke sumber data yang dikumpulkan. Berdasarkan dalil ilmu statistik dasar yang diajarkan di kuliah-kuliah yang paling penting dalam pengumpulan data adalah cara atau metodenya. Padahal sumber data kasus Covid-19 ini berbeda-beda metode pengambilan datanya. Bagaimana mungkin angka-angka yang berbeda derajat keabsahannya bisa dilakukan generalisasi dan disebut sebagai statistik corona. Apa jaminannya jika ternyata ketidakakuratan data bahkan sudah muncul sejak pengambilan spesimen cairan di rongga hidung.

Itu hanya sebagian kecil dari pertanyaan "pengantar" ilmu statistik yang mengusik kewarasan kita akan pertunjukan angka-angka pandemik yang memunculkan depresi dan kecemasan yang mendunia. Sementara di sisi lain, negara-negara seperti China, dan Korea Selatan bahkan telah melampaui  statistik. Mereka tidak melakukan generalisasi, mereka melacak satu persatu warganya baik secara resmi maupun tidak resmi. Seperti telah disiratkan oleh Yuval Noah Harari dalam beberapa tulisannya akhir-akhir ini. Wabah Covid-19 telah menjadi pembenaran bagi negara untuk menjadi lembaga super yang mempunyai hak untuk mengawasi semua warganya. Setuju atau tidak setuju saat ini data-data tiap orang di China dan Korea Selatan, lewat teknologi Data Raya (big data), rekam wajah (facial recognition), hingga pelacakan kordinat global (GPS) sudah ada di dalam super komputer, yang siap untuk digunakan untuk apa saja. 

Heroisme-Populisme

Tidak hanya pertunjukan angka-angka yang sebenarnya rentan kekeliruan. Munculnya angka-angka penyebaran virus dan korban-korban yang berjatuhan di banyak negara telah memunculkan banyak pihak yang awalnya ingin berbuat kebaikan tetapi belakangan malah menjadi penyebar ketakutan yang paling keras suaranya. Mereka ingin memberi kabar, sebaik-baiknya tentang bahaya wabah yang sangat menular dan mengancam populasi umat manusia.  

Mereka tidak peduli bahwa angka-angka korban berjatuhan antara China, Iran, Italia, atau New York masing-masing berbeda derajat keabsahannya. Tidak ada waktu untuk itu. Mungkin dalam benak mereka suasana sudah sangat gawat sehingga mau tidak mau otoritas di sebuah wilayah atau negara hingga seluruh penduduknya harus secepat mungkin bertindak cepat sebelum 'mayat bergelimpangan' demikian kabar mereka. 

Pilihannya adalah segera lakukan apa saja yang telah dilakukan oleh negara-negara yang dianggap sukses telah berhasil mengurangi bahkan menghentikan penyebaran virus Corona. Bisa model China, Korea Selatan atau negara-negara Skandinavia. Jangan tiru cara Spanyol atau Amerika Serikat yang belakangan terbukti menjadi negara dengan tingkat orang tertular paling tinggi jumlahnya di dunia. 

Persoalannya, tetap saja yang mereka kabarkan  baru sebagian saja dari fakta-fakta pandemi Covid-19 yang sangat kompleks. Banyak hal yang harus dikerjakan terlebih dahulu sebelum melakukan langkah-langkah drastis yang mempunyai konsekuensi korban manusia yang jauh lebih banyak akibat kemerosotan ekonomi dan kelaparan. 

Apa yang terjadi di India belakangan ini bisa memberikan penjelasan faktual saat negara yang dipimpin oleh seorang penggemar pencitraan dengan menyebarkan demagogi nasionalisme mencoba melakukan langkah-langkah  dramatis dengan tiba-tiba menghentikan semua urat nadi perekonomian. Untuk melengkapi semua itu, penguasa India bahkan mengharuskan penerapan 'jarak sosial' yang sangat ketat, kalau perlu dengan kekerasan fisik terhadap rakyatnya.

Apa yang terjadi kemudian, kekacauan sosial yang melibatkan jutaan orang terjadi jauh lebih dramatis ketimbang kabar akan adanya kuburan massal yang didengung-dengungkan sebagian orang. Saat terjadi kekacauan sosial, tidak ada pencatat yang sempat menghitung korban. Ilusi-ilusi statistik korban pandemi termutakhir hanyalah ketakutan sebagian kecil  masyarakat yang mempunyai banyak previllege alias keistimewaan. 

Sebagian besar masyarakat miskin di negara yang sangat padat penduduk rata-rata hanya bisa bertahan hidup dengan bekerja pada hari itu. Populasi yang sangat besar ini tidak punya pilihan kecuali ke pasar atau jalan raya. Saat angkutan umum dihentikan, pasar-pasar ditutup, komplek perkantoran diliburkan yang terjadi adalah antrian yang mengular hingga jutaan orang.  Mereka tahu risiko yang ada saat ini  akan bahaya tertular virus yang memburu kerumunan. Tetapi mereka terpaksa harus mengantri kendaraan yang sangat terbatas karena harus pulang kampung. Mereka tidak yakin bahwa mereka akan selamat dari bencana yang lebih mengerikan yakni kelaparan. 

Pada potret India-lah, Indonesia bisa berkaca bagaimana seharusnya merumuskan langkah-langkah yang penuh perhitungan. Teriakan-teriakan heroik, tentang tenaga medis yang berada paling depan bertarung menghadapi virus Corona memang harus dijadikan perhatian untuk membenahi infrastuktur kesehatan negeri tropis kepulauan terbesar di dunia ini. Tetapi mengekor pada semangat "Heroisme-Populisme" kelas menengah yang meringkuk ketakutan di sofa depan layar Smartphone mereka justru akan membuat keadaan jauh lebih apokaliptik ketimbang menerapkan kebijakan tidak populer yang harus mempertimbangkan kepentingan bagian terbesar dari masyarakat yang lebih butuh makanan ketimbang masker.

Penulis: Yul Amrozi

Editor: Anom Surya Putra

Terkait
Sumber Referensi Cerdas | Beragam Informasi Unik dan Berani
Copyright ©2024 bearita.com All Rights Reserved