Mengapa Saya Kehilangan Makna Ditengah Wabah Corona?

Opini

Hendra Januar, Penulis Buku "Mazhab Insomnia"

Penulis:Bearita.com

"Di masa isolasi diri selama satu bulan penuh dalam rumah, perenungan saya seperti pelari maraton yang tidak tahu kemana akan tiba"

Bearita.com - Saya semakin tidak mengerti dunia yang saya huni akhir-akhir ini. Banyak hal yang terus berkembang dan bergerak dengan cepat. Seperti aliran sungai deras yang didorong dari hulu, saya merasa kehilangan makna.

Ibarat berada di tengah lalu lintas tanpa lampu merah, dunia mengajak saya untuk ikut berlari, entah kemana. Setiap hari saya dibombardir informasi dari segala arah, sampai-sampai saya tidak tahu mana informasi yang benar dan mana yang tidak. Setiap orang menjadi penyambung lidah dari realitas. Dan sialnya, tidak jarang saya terbawa kecepatan arus yang sulit dibendung.

Saya mengalami keterlemparan yang tidak disadari, dari satu isu ke isu lainnya, dari satu lelucon ke lelucon lain yang tak lagi menghibur. Semua perasaan campur aduk tak karuan; suatu saat saya merasa tak peduli, tapi pada saat yang sama saya dipaksa peduli. Saya sedang mengalami strange moment, masa yang aneh, di dunia yang sama anehnya.

Di tengah sirkuit informasi itu, saya berusaha mencoba menangkap satu makna yang tetap, tapi selalu berujung kegagalan. Saya tidak tahu apa sebenarnya semua ini. Di masa isolasi diri selama satu bulan penuh dalam rumah, perenungan saya seperti pelari maraton yang tidak tahu kemana akan tiba. Terus saja berlari dan tidak jarang malah menjauhkan diri dari realitas konkret. Suatu saat ada pesan masuk via whatsapp dari seorang kawan yang beryanya, “Lagi di mana?”

Itu pertanyaan mudah seharusnya, tapi tiba-tiba saya merasa sulit menjawab. ‘Di mana’ menunjuk satu tempat, berada di sini atau di sana yang empirik. Tapi juga bisa berarti tempat yang bersifat ontologis – sebuah realitas yang berada di seberang yang di sini atau di sana. Alhasil, saya tidak tahu sedang berada di mana. Tapi untuk mempermudah percakapan, saya berikan jawaban yang dia maksudkan, “Saya lagi di rumah.”

Seorang kawan bilang, saya mengalami aktivitas berpikir yang berlebihan, over thinking, sebutan lain dari kenyataan bahwa saya menganggur. Tapi saya juga apa batas “berlebihan” dalam pikiran. Apakah pikiran ada batasnya, di mana ketika saya sampai di sana, maka secara otomatis pikiran saya berhenti?

Apakah ini disebabkan karena saya memang tidak menyukai simpul-simpul abstrak, teoritik, yang disusun dengan rumus-rumus pasti, sementara saya memaksakan diri untuk menangkap makna tetap dari realitas yang terus berubah, dari hari ke hari bahkan dari detik ke detik?

Saya tidak tertarik untuk mengabaikan realitas dengan mencerabut eksistensinya ke dalam kategori-kategori dalam pikiran dengan cara yang tradisional; atau dengan metode saintifik yang melulu mengukur satu benda dan mengabaikan eksistensinya. Tapi konsekuensinya, saya terjebak pada das nicht atawa ketiadaan makna. (*) 

Penulis: Hendra Januar

Editor: Anom Surya Putra

 

 

Terkait
Sumber Referensi Cerdas | Beragam Informasi Unik dan Berani
Copyright ©2024 bearita.com All Rights Reserved