Antara Beban Psikologik dan Masker Ideologik

Opini

Dr. Edy Suhardono, Psikolog Sosial

Penulis:Bearita.com

"Baik panik maupun meremehkan adalah sama-sama konstruksi mental dan psikologis yang berakar dari kegagalan manusia"

Bearita.com - Di krisis sekarang ini, ketika Covid-19 memporak-porandakan konsep, artifak dan institusi yang mapan –tiga hal yang diangkat oleh Carl Ratner dalam “Macro Cultural Psychology [2013], dimana salah satu saja dari ketiga hal berubah maka ketiganya berubah—ada dua reaksi psikologik-mentalistik ekstrim yang sama-sama konyol: panik atau meremehkan. 

Baik panik maupun meremehkan adalah sama-sama konstruksi mental dan psikologis yang berakar dari kegagalan manusia. Hanya saja, kegagalan ini seolah-olah tampak dan dirasakan bukan sebagai kegagalan karena manusia membalut nala-pikirannya dengan “masker ideologi” yang mampu menyederhanakan semua kekacauan dan ketidaklengkapan masyarakat dan alam, dan gilirannya memberi manusia rasa identitas dan nilai-nilai yang kuat. Kenapa dalam pembahasan ini penulis harus membawa-bawa ideologi, sementara pintu masuk yang dipakai adalah psikologi? Apa kaitan antara psikologi yang secara stereotipikal adalah mikro-individualistik dan ideologi yang makro-kolektivistik itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis perlu mengangkat buah pemikiran Slavoj Zizek.

Bagi Zizek, kebebasan manusia baru disebut nyata jika manusia mengakui bahwa alam adalah ketidaklengkapan dan kekacauan. Ketidaklengkapan alam menjadi pemantik dari apa yang memunculkan kebebasan nyata, dimana subjek manusia – dengan proses psikis dan kognitifnya yang kompleks-- menjadi dasar untuk membingkai dan memandang dunia. 

Melalui bukunya, “Absolute Recoil” Zizek memelintir pemikiran Hegel, yang menyorot bahwa impotensi dan keterbatasan dalam pengetahuan adalah akibat dari ketidakmungkinan manusia menangkap kekayaan fenomena alam secara konseptual. Zizek menegaskan, tidak ada keterbatasan pengetahuan yang berujung pada ketidakmungkinan manusia menangkap kekayaan fenomena alam secara konseptual justru, sebaliknya impotensi itu ada dalam alam itu sendiri. 

Gambaran ideal tentang bagaimana masyarakat dan ekonomi dapat berfungsi sesuai dengan hukum alam yang sempurna menjadi sasaran empuk manusia untuk ikut campur: dalam format menjadikan alam sebagai pasar kapitalis bebas atau lahan komunisme nyata. Bagi Zizek, asumsi yang mendasari kedua pendekatan ini –kapitalis bebas atau komunis nyata-- adalah bahwa terdapat sifat murni dan sempurna darimana manusia telah terlanjur jatuh bertekuk lutut di hadapan hukum alam yang sempurna.

Terlepas dari ketidaktahuan dan kegagalan manusia yang mendistorsi pemahaman atas hukum kodrat,  alam itu sendiri galipnya adalah kacau dan lebih sering tidak sesuai hukum. Betapa rapuh dan tidak lengkapnya alam, dan garis halus yang ada antara dunia alami yang “tertata dengan baik untuk kelangsungan hidup kita” dan “yang lebih kacau” inilah yang menghasilkan kehancuran. Zizek menolak klaim bahwa filosofi besar dan teori kritis telah purna hanya lantaran proses kompleks neoliberalisasi dan transformasi teknologi yang telah menggoncang sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sebaliknya, proses ini justru memberi jalan kepada pandangan filosofis baru yang menekankan identitas kontingen dan pluralisme dalam cara bersaing yang sama, tetapi lebih masuk akal dalam memandang Dunia. Dengan posisi ini, Zizek menyerang klaim Cartesian bahwa ada subjek manusia yang berada di luar penentuan sosial dan bahasa.

Ideologi telah menyederhanakan kekacauan ketidaklengkapan masyarakat dan alam, dan memberi manusia rasa identitas dan nilai-nilai yang kuat. Tentang hal ini dapat didalami pada tulisan Zizek tahun 1999, “The Ticklish Subject”, yang merupakan upaya besar pertamanya untuk mengembangkan alternatif sistematis dari teori postmodern tentang subjek manusia. Kebebasan manusia muncul ketika bergulat dengan kekacauan alam dan berusaha memanipulasinya untuk melayani tujuan manusia. Dalam hal ini kapitalisme nyata dan komunisme nyata gagal karena, seperti halnya alam, keduanya adalah sistem yang sangat tidak sempurna yang digerakkan oleh proses yang tak kalah kacau. 

Seharusnya, dalam sifat yang benar-benar sempurna dan lengkap, keseimbangan niscaya tercapai; dan ini berarti bahwa tidak akan ada ruang untuk kebebasan manusia. Sementara itu, anggapan (atau fakta?) bahwa manusia tidak terikat oleh alam dan dapat menciptakan diri dengan cara apa pun yang diinginkan juga membawa serta beban yang luar biasa untuk menentukan siapa yang manusia inginkan. Dengan ini Zizek mengritisi Aristoteles dan berbagai pemikir Kristen yang menggambarkan alam sebagai keseluruhan yang harmonis, yang beroperasi sesuai dengan hukum alam deterministik.

Ideologi memungkinkan manusia membangun stabilitas psikis ke dunia sosial dan alam yang kacau dan rusak dalam dan dari dirinya sendiri. Artinya, kepercayaan pada alam dan masyarakat yang teratur ini memberikan rasa stabilitas psikologis di dunia. Padahal sebagaimana dalam “The Parallax View”, Zizek melihat alam yang ditandai oleh "kesenjangan" mendasar, dan ini justru menggambarkan ketidaklengkapannya. Menurut perspektif ini, kekacauan dan kehancuran muncul karena manusia yang korup dan jahat mendistorsi hukum kodrat. Jadi, alasan sebenarnya dari para teoritisi (teorist) postmodern menolak anggapan ini bukan lantaran subjeknya sendiri yang retak, tetapi karena masyarakat — dan malahan alam itu sendiri — tidak lengkap. Ibarat seseorang dalam videogame, yang mencoba melampaui batas-batas dunia digital dan menyadari bahwa tidak ada apa-apa di sana, di mana ia hanya menemui batas buatan; demikian pula, ketika manusia melihat dari dekat ke alam, ia mengenalinya sebagai kekuatan entropis yang dikendalikan oleh kecelakaan dan kontingensi. 

Selain itu melalui pandemi Covid-19, kita mulai mengenali kerusakan yang kita cari alasannya dari ekosistem planet ini, kerusakan yang menyebabkan bencana alam yang menimpa sebagian besar umat manusia. Betapa pun, proses ini pada ujungnya terbukti bermanfaat, seperti halnya ketika letusan gunung berapi memusnahkan banyak spesies, tetapi justru memungkinkan pengembangan sumber daya batubara dan minyak, yang kemudian berguna bagi manusia. Ini menegaskan, alam jauh dari sempurna: ia hanyalah serangkaian proses material yang sering kacau dan merusak. 

Bagi Zizek, manusia perlu bergerak melampaui kiasan ideologis dan menerima ketidaklengkapan dunia dan tanggung jawab kebebasan di dalamnya. Manusia akan sepenuhnya ditentukan oleh hukum alam, yang akan beroperasi dengan keteraturan deterministik yang tak lain tak bukan justru menggambarkan semua tindakan manusia. Dengan demikian, ini adalah cara historis yang bergantung pada manusia, yang ditentukan oleh masyarakat dan totalitas perkembangan sejarah di mana seseorang berpartisipasi. Yang telah terbentuk adalah kepercayaan bahwa masyarakat yang baik adalah masyarakat yang mendekati sifat sempurna dan selengkap mungkin. Atau, secara lebih lebih fatalistik, dengan kepercayaan ini manusia menyangkal keprihatinan tentang perubahan iklim dengan secara diam-diam mempercayai bahwa alam harus selalu memperbaiki dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Tak muskil, dunia sosial dan alam yang kita tangkap mungkin saja memiliki stabilitas tertentu, tetapi itu lebih karena manusia melihatnya dengan cara yang dibatasi secara ontologis. Manusia dapat saja menyederhanakan proses sosiopolitik dan alam yang kompleks menjadi sekadar narasi partisan yang sederhana. Ini sebuah paradoks, sebab penyederhanaan semacam ini justru merupakan masalah yang sangat kompleks, yang melampaui kerumitan politik dan berhubungan dengan struktur realitas itu sendiri berserta sifat kemanusiaan. 

Alih-alih menerima fakta itu, manusia lebih mencoba memproyeksikan ke alam — dan dengan perluasan ke masyarakat — kesempurnaan dan kelengkapan yang sebenarnya tidak ada dalam realitas material. Hal ini senada dengan pemikiran Kierkegaard dalam “The Concept of Anxiety”, sebab Zizek pun mengakui bahwa kondisi kebebasan manusia juga dapat menghasilkan banyak teror yang darinya justru manusia akan mundur.

Kekacauan alam, dan ketidakpuasan dan kegelisahan yang ditimbulkannya, membuka peluang bagi manusia untuk mengubah diri sendiri. Ini bisa mengarah pada apa saja, mulai dari penolakan terhadap homoseksualitas dan transgenderisme di ujung konservatif, hingga seruan untuk kembali ke alam dan primitif sebagaimana dikukuhi kaum New Age; mulai dari penolakan bahwa bumi bulat di kalangan zenophobic hingga seruan kembali alam mantra di kalangan kaum mentalist. Sebagai contoh, Zizek menyorot narasi ideologis juga menjelaskan daya tarik kaum konservatif postmodern seperti Donald Trump, yang menawarkan kisah-kisah sederhana dan musuh yang jelas sebagai pengganti untuk terlibat dalam perubahan sejati. Bagi Zizek, ini justru menegaskan, manusia mendiami masa kacau yang lebih transparan daripada sebelumnya. 

Kaum konservatif akan sering mengklaim bahwa kemerosotan ekonomi diakibatkan oleh kegagalan untuk cukup membebaskan pasar-pasar kapitalis dari hambatan-hambatan pemerintah, dan ini sebelas-duabelas dengan Komunis yang sering mengklaim bahwa percobaan Soviet gagal karena komunisme yang sesungguhnya tidak dilaksanakan dengan tepat. Padahal, bukankah tradisi dan praktik yang membingkai rasa identitas dan nilai-nilai banyak orang kian terkikis melalui proses neoliberalisasi dan transformasi teknologi? (*)

Penulis: Dr. Edy Suhardono, Psikolog Sosial

Editor: Anom Surya Putra

Terkait
Sumber Referensi Cerdas | Beragam Informasi Unik dan Berani
Copyright ©2024 bearita.com All Rights Reserved