Pandemi Covid-19 dan Krisis Negara Hukum

Opini

Penulis:Bearita.com

"Cara berhukum negara hukum deliberatif pada masa krisis adalah warga negara dan kekuasaan negara mendukung penelitian dokter dan ahli lainnya untuk mencipta obat mujarab demi kehidupan bersama"

Bearita.com - Tersebarnya virus Covid-19 kiranya menyingkap tabir Negara Hukum yang selama ini diagungkan. Negara Hukum (Rechtsstaat) adalah konsep negara yang didasarkan pada cara berhukum secara formal, serba-aturan, dan penerapan bernuansa kekuasaan-legal. Di berbagai negara penganut kebijakan Lockdown, krisis Negara Hukum dialami lebih cepat.

Covid-19 melemahkan kekuasaan parlemen karena ada keterbatasan pertemuan untuk menyaring opini publik mengenai dampak pandemi. Di lain hal kekuasaan administrasi pemerintahan menjalin kolaborasi dengan para ahli kedokteran tanpa perlu menunggu lama keputusan politik parlemen.

Tindakan administrasi pemerintahan untuk mengatasi pandemi itu berlanjut dengan pengadaan barang dan jasa. Prosedur negosiasi singkat lebih mengemuka daripada prosedur administrasi tender yang panjang. Akan tetapi, tindakan administratif itu direspons negatif oleh publik melalui isu korupsi.

Dugaan korupsi beredar cepat di media, dipolitisasi oleh organ kekuasaan politis, dan kekuasaan yudisial belum menanganinya secara cepat.

Anti-Komunikasi

Jürgen Habermas (1996) mengajukan kritik terhadap sistem kekuasaan negara yang mengalami situasi anti-komunikasi. Kekuasaan parlemen, kekuasaan administrasi, dan kekuasaan yudisial satu sama lain tidak berkomunikasi perihal prioritas utama bagi warga negara. Kedaulatan rakyat tidak menjadi rasionalitas dari negara hukum itu sendiri. Akibatnya, sistem kekuasaan negara melakukan kolonisasi atau penjajahan terhadap masyarakat.

Krisis atas negara hukum tertuju pada individualisme. Hak individu atas pencegahan dan penanganan pandemik kurang dijamin di ruang publik. Pandemi Covid-19 menyasar pula kekuasaan negara dan modal karena keduanya dicurigai memanfaatkan situasi penanganan pandemi melalui korupsi. Di lain pihak masyarakat mengalami friksi yang diwarnai sikap saling curiga di antara sesama dan tidak percaya atas kekuasaan negara.

Di tengah krisis negara hukum justru diskursus hukum di Indonesia kembali pada memori hukum tata negara darurat. Argumentasi hukum doktrinal bertebaran agar kekuasaan negara segera menerbitkan surat edaran, himbauan, dan peraturan perundang-undangan daripada kekuasaan negara menyuarakan solidaritas sosial atau gotong royong.

Pernyataan Cicero, keselamatan adalah hukum tertinggi, diangkat menjadi kredo utama. Padahal, secara historis kredo itu digunakan untuk perang sipil di negara liberal. Belakangan, kredo Cicero surut penggunaannya dan beralih menggunakan slogan gotong royong mengatasi pandemi.

Tepat pada masa krisis Covid-19, Habermas mengeluarkan pernyataan baru melalui Frankfurter Rundschau (2020). Krisis Covid-19 membawa kekuasaan negara berada pada situasi yang tak pernah dikenali selama ini. Habermas menganjurkan kekuasaan negara punya agenda prioritas utama. Yakni, hak hidup warga negara sesuai konstitusi masing-masing. Krisis negara hukum diatasi melalui logika kekuatan konstitusi dengan tujuan menjamin hak hidup bersama. Sekalipun hak hidup bersama merupakan prioritas utama, tapi sungguh harus dipahami bahwa kondisi krisis sulit diprediksikan kapan akan berakhir.

Cara berhukum Habermasian tidak secara langsung mengandalkan pengetahuan eksplisit tentang Lockdown. Selama pandemi Covid-19, tidak pernah ada begitu banyak pengetahuan tentang ketidaktahuan kita, dan dorongan untuk bertindak dan hidup di bawah ketidakpastian. Cara berhukum negara hukum deliberatif pada masa krisis adalah warga negara dan kekuasaan negara mendukung penelitian dokter dan ahli lainnya untuk mencipta obat mujarab demi kehidupan bersama.

Para ahli kesehatan dan ilmuwan sosial tidak perlu memberikan prediksi kapan masa berakhirnya pandemi. Karena hal itu merupakan kecerobohan intelektual yang didukung arogansi pengetahuan. Setali tiga uang dengan ketidaklogisan teologis bahwa pandemi ini akan selesai pada bulan tertentu.

Disiplin Tanpa Menghukum

Kekuasaan negara manapun kini terperosok pada sikap keragu-raguan dalam menghadapi krisis, antara menghukum atau mendisiplinkan. Misalnya, retorika larangan mudik ke Desa berbalas pantun dengan disiplin karantina di Desa. Kekuasaan negara akan dilabeli serba ragu-ragu akan tetapi pada jejak sejarah digital nanti akan tercatat lain. Kekuasaan negara berupaya menjaga keseimbangan sub-sistem kesehatan dan ekonomi supaya tidak menimbulkan rasa traumatis bagi warga negara.

Diskursus negara hukum yang dipahami secara doktrinal mudah rapuh dihadapkan pada pola pendisiplinan masyarakat. Filsuf Svenja Flaßpöhler pada media Deutsche Welle (2020) menyatakan, masa isolasi-diri ini merupakan bagian utama bagi masyarakat yang terdisiplinkan. Selama ini kita terpisah-pisah pada tempat dan pekerjaan masing-masing. Kini semua orang didorong kembali ke ruang privat. Berpikir ulang bahwa nafsu produksi dan konsumsi telah bergeser pada aksi solidarizas.

Hemat penulis, kekuasaan administrasi pemerintahan saatnya berganti pola. Semula memperlakukan warga sebagai klien, berubah memperlakukannya sebagai warga negara yang punya hak hidup. Kebijakan Dana Desa yang berubah menjadi ”bantuan langsung tunai” semestinya dipublikasikan sebagai hak rakyat Desa untuk hidup. Bukan bantuan dari kekuasaan negara kepada klien yang bersifat transaksional.

Praktik pengetahuan kedokteran masih berada pada tahap menjadi pengawas publik. Anda terawasi untuk disiplin cuci tangan, jaga jarak, dan seterusnya. Teringat pada Foucault, sejarah pengetahuan kedokteran mengajarkan bahwa penanganan epidemi dan kegilaan melibatkan tindakan non-medis. Kekuatan pendisiplin masyarakat hadir melakukan karantina pada sebuah kapal. Tata pemerintahan bergeser menjadi tata pendisiplinan masyarakat tanpa menghukum (governmentality), meluas hingga diskursus penologi konstitutif. Tak heran, narapidana dilepas ke masyarakat untuk saling berjibaku mendisiplinkan diri daripada mereka dihukum dibalik jeruji.

Kekuatan karantina atas wabah itu kemudian dimaknai lain oleh Slavoj Zizek pada masa krisis Covid-19, ”kita sekarang berada pada satu kapal”. Mau pergi kemana, bertemunya hanya laut lepas. Maka, tontonlah film perang dan serial komedi untuk mengatasi paranoia. Melakukan pekerjaan kecil sampai tertidur. Anggaplah isolasi-diri sebagai permainan dengan iming-iming hadiah besar.

Pandemi Covid-19 mengajarkan sikap untuk mengatasi krisis negara hukum. Warga negara kembali melakoni solidaritas dan mengambil sikap berani hidup. Meskipun warga negara terkepung oleh berita kematian, ancaman kemiskinan, dan strategi pendisiplinan atas tubuhnya.

Sampai disini kurang tepat kiranya dibahas nasib rakyat jelita (milenial) yang tetap ceria semasa pandemi. Akibat kebijakan saling jaga jarak, mereka lebih diuntungkan dalam situasi pandemik, luput dari penghukuman tapi tidak tidak lolos dari aksi koreksi dari warga negara.***

Penulis: Anom Surya Putra

Terkait
Sumber Referensi Cerdas | Beragam Informasi Unik dan Berani
Copyright ©2024 bearita.com All Rights Reserved